Friday, September 21, 2007

HARIAN TRIBUN KALTIM.

Tribun Kaltim Online

Universitas Mulawarman [SITUS UNMUL]

Universitas Mulawarman - Berita

SITUS FKIP UNIKARTA.

Selayang Pandang FKIP

situs DIKTI.[INFO SEPUTAR PERGURUAN TINGGI]

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

jurusan teknologi pendidikan - Google Search

jurusan teknologi pendidikan - Google Search

ALFI_FOREVER.COM

ALFI_FOREVER.COM

Wednesday, May 16, 2007

Poligami, Bagian dari Pemberdayaan Perempuan

Poligami, Bagian dari Pemberdayaan Perempuan
(Sulton, TL KMW V P2KP-2 Manado, Sulut; Nina)

Akhir-akhir ini, Poligami menjadi topik yang membumi setelah salah satu ustadz digembar-gemborkan di media eletronik, telah melakukan poligami. Namun, dari sini kita dapat menghimpun sejumlah argumen dan fakta penting dari beberapa tokoh tentang poligami.
Pertama, berpoligami berarti menjalankan syariat Islam. Kedua, bagaimana mungkin orang memeluk suatu agama yang membolehkan poligami dan peperangan. Ketiga, berpoligami lebih bagus dan selamat daripada selingkuh dan melacur. Keempat, poligami melanggar hak asasi perempuan. Kelima, jika laki-laki punya hak untuk poligami, perempuan juga punyak hak untuk poliandri. (Emha A.N, 2006). Pemahaman ini diulang-ulang setiap hari, dalam obrolan di kedai, wawancara media, makalah dalam diskusi, bahkan mimbar-mimbar Jumat.
Pemikiran di atas tentunya didasarkan pada pandangan suatu kelompok tentang poligami. Ada tiga kelompok di dunia ini yang menyikapi poligami. Kelompok pertama, kelompok yang membolehkan poligami atas dasar filosofi dan teologi yang dianutnya. Kelompok kedua, menolak untuk menelurkan hukum yang membolehkan atau melarang poligami. Mereka abstain, juga atas dasar tafsir sendiri. Kelompok ketiga, tegas membuat peraturan untuk melarang poligami karena interpretasi mereka atas dasar filosofi dan teologi yang dianutnya.
Dari pandangan beberapa kelompok di atas ini, kita bisa melihat dan memahami, masuk bagian yang mana diri kita?
Bagi umat Islam, poligami diperbolehkan, tapi dengan syarat. Ini termaktub dalam surah An-Nisa, ayat (3) : ”.......maa taaba lakummainan-nisaa’i mas’na wa s’ulasa wa rubaa’, fa in khiftum allaa ta’diluu fa waahidatan.....” artinya, ”......maka nikahilah perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja...” Ayat tersebut jelas dan tegas bahwa poligami diperbolehkan, asal mampu berbuat adil.
Mengambil istri lebih dari satu tentunya berdasar pertimbangan sosial, banyaknya janda-janda, wanita teraniaya, jumlah tak seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan seterusnya. Perkawinan — suami dan istri — adalah satu manajemen untuk membangun keluarga sakinah, dimana laki-laki adalah pemimpinnya. Pada konteks sifat Allah ar-Rahim (cinta ke dalam, cinta vertikal, cinta personal) istri adalah ibunya anak-anak. Perkawinan laki-laki dan perempuan adalah ikatan skala ar-Rahim, dan posisinya dialektis dengan ar-Rahman: suatu perkawinan sosial (cinta meluas, horizontal, dan keluar ).
Di sini, jelas Tuhan tidak hanya memberikan batasan dan perintah, melainkan menyikapi manusia sebagai makhluk sempurna, yang telah dibekali-Nya dengan akal. Maka, dalam banyak hal, sesungguhnya Tuhan tidak hanya memberikan perintah, tetapi juga mengajak manusia berdiskusi agar manusia memproses pemikirannya, kemudian mengambil keputusan sendiri dengan akalnya. Dengan diperbolehkannya beristri dua, tiga atau empat, berarti Tuhan menguji kedewasaan akal manusia. ...Jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja.” Maka, kawin dua, tiga, dan empat (kali) berangkat dari prasyarat-prasyarat sosial yang kita himpun, di samping dari yang dipaparkan Tuhan dan tareh (sejarah), serta digali dari akal pemikiran kita sendiri.
Kawin dua, tiga atau empat (kali), menurut kematangan akal dan rasa kalbu kemanusiaan, tidak pantas dilakukan atas pertimbangan personal/individu, karena ia berkonteks sosial. Ia tidak merupakan hak individu melainkan kewajiban sosial. Kewajiban adalah sesuatu yang ”terpaksa” atau wajib kita lakukan, suka atau tidak suka. Karena, masalahnya bukan terletak pada selera, kenikmatan atau kemauan pribadi, melainkan untuk kemaslahatan bersama.
Maka, sebagai keluarga sakinah, dimana dzikrillah sebagai maqam, kawin dua, tiga atau empat bukan hanya kemauan pribadi laki-laki, melainkan kewajiban bersama laki-laki dan perempuan (keluarga) demi kemaslahatan bersama. Dengan demikian, yang namanya adil akan mudah dilaksanakan sebagai prasyarat yang dipaparkan Tuhan.
Mari kita cermati dan perhatikan apakah prasyarat sosial di negeri tercinta ini sudah memenuhi untuk menjalankan poligami? Perlu kita renungi, perempuan berdaya bukan mereka yang mampu menyelesaikan pendidikan tinggi, mampu mengumpulkan kekayaan, melainkan mereka yang selalu meneguhkan dan menundukkan hati untuk selalu ingat pada Tuhan. (Zen Istiarsono Mahasiswa Pasca Sarjana MP Unmul)

Template by : kendhin x-template.blogspot.com